CANDI DENGOK: BUKTI PERADABAN MASA HINDU-BUDDHA DI PADUKUHAN DENGOK LOR

22 Januari 2024
Admin
Dibaca 102 Kali
CANDI DENGOK: BUKTI PERADABAN MASA HINDU-BUDDHA DI PADUKUHAN DENGOK LOR

Padukuhan Dengok Lor di Kalurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul menyimpan sebuah peninggalan leluhur yang sangat berharga yaitu berupa Candi Dengok. Candi ini berupa reruntuhan yang memiliki luas bangunan sekitar 15 m x 15 m atau 225 m2. Walaupun telah menjadi reruntuhan, tetapi wujud pondasi hingga kaki candi masih nampak jelas. Selain itu, terdapat beberapa fragmen ornamen dan arca candi di sisi Tenggara. Sebagai pengantar, candi adalah suatu bangunan/monumen yang dibangun dengan tujuan sebagai tempat beribadah pada kebudayaan peradaban Hindu maupun Buddha, candi memiliki dua jenis yaitu candi yang memiliki ruang (contoh: Candi Prambanan, Candi Sambisari) dan candi yang tidak memiliki ruang (contoh: Candi Borobudur, Candi Barong). Pada kasus Candi Dengok berikut kemungkinan besar merupakan candi yang memiliki ruang dengan berlatar keagamaan Hindu. Hal ini dapat terlihat dari adanya fragmen lingga yang merupakan satu kesatuan dengan yoni. Yoni dan lingga merupakan alat peribadahan candi beragama Hindu yang umum diletakkan di ruang utama candi sebagai perwujudan dari kekuatan Dewa Siwa.

Melihat dari kenampakan struktur kaki candi yang masih terlihat, Candi Dengok diperkirakan memiliki periodisasi sekitar Masa Klasik Awal atau sekitar abad 8 – 10 M. Adanya struktur ornamentasi candi berupa genta/ojief/cyma pada kaki candi yang sangat khas menandai Masa Klasik Awal dan umum ditemui di langgam Candi Jawa Tengah. Selain itu, terdapat ornamentasi kemuncak yang khas ditemui pada atap berundak di candi Masa Klasik Awal. Soekmono (1981) menjelaskan bahwa langgam Candi Jawa Tengah bercirikan bentuk bangunan tambun, atapnya yang berundak, bangunan candi berada di halaman tengah, mayoritas candi menghadap ke Timur, dan banyak dibangun dari bahan batuan andesit. Ciri-ciri langgam Candi Jawa Tengah yang telah disebutkan membantu untuk menggambarkan bagaimana kemungkinan rupa Candi Dengok sebelum runtuh, akan tetapi terdapat keunikan di Candi Dengok dimana candi dibangun dengan bahan dasar batu putih bukan berupa batu andesit. Hal ini menggambarkan kemampuan leluhur dalam beradaptasi dengan lingkungan alam sekitar dan memanfaatkan pengetahuan luhurnya untuk membangun candi yang megah.

Langgam/Gaya candi Jawa Tengah lebih dikenal dengan struktur dengan tiga bagian yang terlihat jelas dan proporsional dibandingkan dengan candi di daerah Jawa Timur, hal ini biasa disebut biasa disebut Tripartite Structure. Struktur ini dibagi menjadi tiga berdasarkan bentuknya, pedestal zone atau kaki candi berbentuk luas dan datar (flat) horizontal dengan fungsi sebagai pondasi candi, lalu bagian wall zone yang berbentuk seperti kubus dengan pembagian secara vertikal lewat ornamen dinding dan pilaster, serta roof zone yang berbentuk seperti piramida (Lehner, 2017). Pada Candi Dengok yang tersisa berupa kaki candi yang luas dan datar dengan berbagai batuan bertakik serta bertatah rapi ditemukan tersebar di area bangunan candi. 

Lebih lanjut, menurut penuturan dengan warga sekitar yang telah hidup lama berdampingan dengan Candi Dengok. Pada masa sekitar tahun 1900-an masih terdapat lima arca yang terdapat di lokasi Candi Dengok tersebut. Beberapa diantaranya yang jelas disebutkan adalah arca sapi dan arca orang yang berperut besar. Namun, di awal tahun 2000 arca tersebut telah hilang dicuri oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Informasi dari warga tersebut sedikit banyak menguatkan bahwa Candi Dengok berlatar keagamaan Hindu dengan aliran Hindu-Siwa. Hal tersebut karena adanya arca dari “keluarga Dewa Siwa” yaitu arca sapi yang dikenal sebagai Arca Nandi atau hewan tunggangan Dewa Siwa dan arca orang berperut besar yang kemungkinan besar adalah Arca Agastya yaitu perwujudan Dewa Siwa sebagai guru. Tata kelola candi yang beraliran Hindu-Siwa menggunakan hubungan arah hadap penjuru mata angin dengan keberadaan suatu arca seperti Arca Rsi Agastya diletakkan pada bagian Selatan candi, Arca Durga Mahesasuramardini pada bagian Utara, Arca Ganesha yang selalu diletakkan berlawanan arah dengan arah hadap candi, Arca Mahakala sebagai penjaga pintu masuk bilik candi, dan Arca Nandi di candi perwara atau candi pendamping yang sering ditemukan berhadapan dengan arah hadap candi utama (Pradnyawan, 2019 dalam Tanudirjo, 2019). 

Candi-candi pada dasarnya dibangun diatas tanah perdikan atau tanah yang disucikan dengan keistimewaan yaitu bebas dari pajak karena tanah ini ditujukan sebagai tanah peribadatan, para raja pada masa lalu memberikan tanah perdikan menuliskan prasasti. Selain itu, pemilihan letak wilayah yang akan dibangun candi dipengaruhi oleh kesuburan dan ketersediaan sumber air yang dekat dikarenakan kebutuhan peribadahan serta makna air yang menyucikan (Sedyawati et al, 2013; Darmawan et al, 2015). Jika diterapkan pada Candi Dengok, maka ketentuan tersebut dapat ditemui pada Situs Candi Dengok dimana sekitar 50 meter di bagian Timur candi terdapat sungai yang dapat menjadi sumber air bagi candi di masa lampau. Dengan adanya sungai, maka tanah disekitar sungai tersebut dinilai subur dan dapat mengakomodasi kebutuhan peribadahan di Candi Dengok pada masa lampau.

Candi Dengok dengan kondisinya yang telah menjadi reruntuhan harus terus dijaga dan dilestarikan karena nilai pentingnya yang tinggi. Keberadaan Candi Dengok dapat menjadi bukti kuat bahwa daerah sekitar candi tersebut merupakan daerah yang dulunya penting. Dengan menjaga kelestarian situs cagar budaya Candi Dengok dapat memperkuat identitas lokal dan peninggalan kebudayaan yang ada.

 

Ditulis oleh : Muhammad Lanang Adiyatma KKN-PPM UGM Unit YO-132 Semanu 2023

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, M., Daryaka, S., Mustofa, F. 2015. Atlas Budaya Edisi Candi: Meneropong Candi dari Aspek Geospasial. Badan Informasi Geospasial

Lehner, Erich. 2017. Advanced survey of ancient Buddhist and Hindu temples in central Java for tracking their position within the history of Southeast Asian architecture. Journal of Comparative Cultural Studies in Architecture, Vol.10, 21-28.

Sedyawati, E., Santiko, H., Djafar, H., Maulana, R., Ramelan, W. D. S., & Ashari, C. 2013. Candi Indonesia: Seri Jawa: Indonesian-English (Vol. 1). Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Tanudirjo, Daud Aris. 2019. KUASA MAKNA : Perspektif Baru dalam Arkeologi Indonesia. Departemen Arkeologi FIB UGM.